Umar Kayam adalah nama yang sudah tidak asing lagi di Indonesia. Semasa hidupnya ia sangat aktif di berbagai bidang. Ia dikenal sebagai sastrawan, budayawan, sosiolog, kolumnis, mantan pejabat, penulis skenario, dan aktor film. Ialah pemeran Bung Karno dalam film layar lebar produksi Pusat Film Nasional (PFN) yang berjudul Pengkhianatan G 30 S PKI. Sebuah film dokumenter yang dijadikan oleh pemerintah sebagai tontonan wajib bagi rakyat Indonesia pada zaman Orde Baru. Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada tangggal 30 April 1932.
Sebenarnya, orang tuanya
tinggal di Solo. Akan tetapi, menjelang kelahiran Umar Kayam, orang tuanya
memang sengaja datang ke Ngawi, rumah kakek Umar Kayam, karena Sang kakek ingin
cucu pertamanya lahir di rumahnya. Maka, lahirlah Umar kayam di Ngawi.
Nama Umar Kayam yang
disandangnya adalah pilihan ayahnya, Sastrosoekoso. Nama itu meniru nama Omar
Khayam , seorang sufi, filsuf, ahli perbintangan, ahli matematika, dan pujangga
kenamaan asal Persia yang hidup pada abad ke-12. Ayahnya berharap bahwa Umar
Kayam bisa menjadi manusia yang cemerlang seperti Omar Khayam.
Uka, sapaan akrab Umar Kayam,
mengakhiri masa lajangnya pada usia 27 tahun. Ia menikahi gadis Minang yang
bernama Roosliana Hanoum pada tanggal 1 Mei 1959 di Medan. Resepsinya diadakan
di Singaraja, Bali, tempat Umar Kayam bertugas saat itu. Kehidupan rumah
tangganya berjalan langgeng. Ia menerapkan sikap demokrasi di keluarganya,
tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada anak dan istrinya.
Sita, putri sulungnya, misalnya,
menyukai tari Jawa, tetapi kurang bisa berbahasa Jawa. Umar kayam, yang sangat
peduli terhadap budaya Jawa, tidak mau ikut campur untuk memaksa putrinya harus
menguasai bahasa Jawa, meskipun menurut pikirannya seharusnya memang demikian.
Ia membiarkan anak-anaknya berkembang menurut kehendak anak itu sendiri. Begitu
pula dengan istrinya, yang akrab disapa dengan nama kecilnya, Yus, tidak
dipaksanya menjadi istri dan ibu yang harus bekerja di rumah mengurusi rumah
tangganya saja. Ia merelakan istrinya berkarier, bahkan mendukungnya, jika hal
itu yang dibutuhkan oleh istrinya.
Umar Kayam memulai pendidikan
formalnya di kota Solo. Ia menyelesaikan sekolah dasar (SD) dan sekolah
menengah peratama (SMP)-nya di kota itu. Dari Solo ia melanjutkan pendidikannya
ke sekolah menengah atas (SMA) di Yogyakarta dan menamatkannya di SMA Semarang.
Ia kembali lagi ke Yogyakarta setelah lulus SMA.
Di Yogyakarta ia masuk ke Fakultas Paedagogi, Universitas Gajah Mada (UGM).
Di Yogyakarta ia masuk ke Fakultas Paedagogi, Universitas Gajah Mada (UGM).
Ia meraih gelar B.A (sarjana muda)
pada tahun 1955 dari sana. Tentu saja debutnya tidak
hanya sampai di situ. Bagi Umar Kayam pendidikan itu penting dan ia selalu ingin menambah pengetahuannya. Keingintahuannya terhadap sesuatu yang diminatinya memang sangat besar. Maka, dilanjutkannyalah pendidikannya ke Universitas New York, di Amerika Serikat. Ia berhasil meraih gelar M.A. (1963) dari negeri Paman Sam itu.
hanya sampai di situ. Bagi Umar Kayam pendidikan itu penting dan ia selalu ingin menambah pengetahuannya. Keingintahuannya terhadap sesuatu yang diminatinya memang sangat besar. Maka, dilanjutkannyalah pendidikannya ke Universitas New York, di Amerika Serikat. Ia berhasil meraih gelar M.A. (1963) dari negeri Paman Sam itu.
Dua tahun kemudian, 1965, ia
kembali menunjukkan kemauan dan kemampuannya dalam menggali ilmu, ia meraih
gelar Ph.D dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Gelar professor
diperolehnya dari UGM, tempat ia mengabdikan ilmunya, pada tahun 1986 dan
dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Sastra UGM pada tahun 1988.
Sangat banyak pekerjaan yang
pernah digeluti oleh Umar Kayam dan dalam berbagai jenis pula. Pengetahuannya
yang tinggi dan wawasannya yang luas memungkinkan ia menggeluti semua pekerjaan
itu. Jabatan kariernya dimulai dari dosen pada Fakultas Sastra, UGM. Seiring
dengan peningkatan sumber daya manusianya yang cukup menonjol, meningkat pula
kariernya di UGM, bahkan merambat ke tempat lain. Berikut ini karir beliau,
ialah:
1.
Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film, Departemen
Penerangan, Republik Indonesia (Dirjen RTF) pada tahun 1966--1969 ,
2. Rektor Lembaga Pendidikan
Kesenian Jakarta pada tahun 1968—1972,
3. Ketua Dewan Kesenian Jakarta
pada tahun 1969—1972,
4. Direktur Pusat Latihan
Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang (1975—1976),
5. Direktur Pusat Penelitian
Kebudayaan, UGM pada tahun 1977,
6. Ketua Dewan Film Nasional pada
tahun 1978—1979,
7. Ketua Lembaga Pendidikan
Kesenian Jakarta (LPKJ) pada tahun 1988, dan
8. Anggota Akademi Jakarta pada
tahun 1988.
9. Anggota MPRS,\
10.
Dosen UI dan dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta,
Senior Fellow pada East-West Center, Hawai, AS, anggota penyantun/penasehat
majalah Horison.
Pandangan Umar Kayam yang cenderung modern dalam membina rumah
tangganya itu, ternyata kontradiktif dengan pandangannya dalam menyikapi
kemajuan zaman, khususnya teknologi komputer. Meski zaman telah dilanda
komputerisasi, Profesor doktor yang pernah menjabat sebagai guru besar di Universiatas
Gajah Mada itu enggan meninggalkan mesin ketik manualnya yang kalau dipakai
mengeluarkan suara yang dapat menagganggu orang di sekitarnya. Jika
teman-temannya membujuknya untuk menggunakan komputer, Umar Kayam menantang
mereka, “Yakinkan saya bahwa dengan komputer saya bisas kreatif.” Tentu saja
tak seorang pun yang dapat memberikan jaminan.
KARYA:
Karya-Karya
Umar Kayam
a. Cerpen
1. Seribu Kunang-Kunang di Manhattan
2. Istriku, Madame Schultz, dan Sang Raksasa
3. Sybil
4. Secangkir Kopi dan Sepotong Donat
5. Chief Sitting Bull
6. There Goes Tatum
7. Musim Gugur Kembali di Connecticut
8. Kimono Biru buat Istri
a. Cerpen
1. Seribu Kunang-Kunang di Manhattan
2. Istriku, Madame Schultz, dan Sang Raksasa
3. Sybil
4. Secangkir Kopi dan Sepotong Donat
5. Chief Sitting Bull
6. There Goes Tatum
7. Musim Gugur Kembali di Connecticut
8. Kimono Biru buat Istri
b.
Novel Pendek
1. Sri Sumarah
2. Bawuk
1. Sri Sumarah
2. Bawuk
Kedelapan cerpen di atas
bersama dua novelet—Sri Sumarah dan Bawuk—diterbitkan dalam satu buku yang
berjudul Sri Sumarah, pada tahun 1975. Penerbitnya adalah Pustaka Jaya,
Jakarta.
c.
Novel
1. Para Priyayi (Pustaka Jaya, 1992)
2. Jalan Menikung (Pustaka Jaya 2002)
1. Para Priyayi (Pustaka Jaya, 1992)
2. Jalan Menikung (Pustaka Jaya 2002)
Sumber: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/195/Umar%20Kayam
0 komentar:
Posting Komentar