Selasa, 24 Mei 2016

Sabtu, 21 Mei 2016

Senin, 16 Mei 2016

KURIKULUM VERSI KI HADJAR

Kurikulum versi Ki Hadjar 5 Januari 2015. Ketika penulis atas nama pimpinan Perguruan Nasional Taman Siswa menerima kunjungan Joko Widodo tanggal 3 Mei 2014 di Kompleks Pendopo Agung Tamansiswa Yogyakarta tempat Ki Hadjar Dewantara mendidik cantrik dan mentriknya, ia berbicara mantap mengenai pentingnya pendidikan karakter bagi anak didik. Di depan rumah Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar yang sekarang menjadi Museum Dewantara Kirti Griya, dan di hadapan ratusan pamong dan siswa Tamansiswa, Joko Widodo (Jokowi) dengan gamblang menyatakan sekitar 75 persen kurikulum pendidikan dasar adalah karakter, sekitar 50 persen kurikulum pendidikan menengah adalah karakter, dan sekitar 25 persen kurikulum pendidikan tinggi adalah karakter. Boleh jadi permasalahan karakter itulah yang sesungguhnya menjadi ”pertimbangan tersembunyi” Anies Baswedan sebagai menteri pendidikan untuk menghentikan implementasi Kurikulum 2013 di luar 6.221 sekolah (uji coba). Sebab, Kurikulum 2013 dianggap tidak optimal mengakomodasi pendidikan karakter sebagaimana ditekankan Jokowi, maka dihentikanlah kurikulum baru tersebut. Jokowi adalah presiden dan Anies Baswedan sebagai menteri pendidikan adalah pembantunya. Ruh pendidikan Karakter, Ki Hadjar menyebutnya sebagai budi pekerti, merupakan inti dari pendidikan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ruh pendidikan.
       Bagi Ki Hadjar, pendidikan harus mampu menuntun tumbuhnya karakter dalam hidup Sang Anak (anak didik) supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan susila. Kecerdasan memang diperlukan segenap anak didik, tetapi karakter lebih diperlukan. Kecerdasan tanpa diimbangi karakter justru akan menjerumuskan kehidupan anak didik itu sendiri. Dalam konteks pengembangan kurikulum, maka substansi pendidikan karakter bersifat mutlak. Permasalahannya, apakah pendidikan karakter harus menjadi mata pelajaran? Dalam hal ini Ki Hadjar bersikap bijak dengan menyatakan pendidikan karakter itu wajib diberikan kepada anak meskipun tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Ini berarti pendidikan karakter bisa menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi bisa juga terintegrasi pada mata pelajaran lain. 
          Bagaimana cara menyampaikan pendidikan karakter? Menurut Ki Hadjar ada empat tingkatan, yakni syari’at, hakikat, tarikat, dan makrifat. Tingkat syari’at cocok diberikan kepada anak yang sangat muda, dalam hal ini anak TK. Metodenya dengan membiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, misalnya mengucapkan salam ketika bertemu teman, memberikan hormat ketika bertemu guru, dan mencium tangan ketika berhadapan dengan orangtua. Tingkat hakikat cocok diberikan kepada murid SD. Anak dibiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, dalam waktu bersamaan diberi pengertian mengapa harus berbuat demikian. Contohnya, di samping dibiasakan mengucapkan salam sewaktu bertemu teman, mereka juga diberi pengertian tentang pentingnya mengucap salam itu; misalnya dapat menimbulkan ikatan hati dan keakraban lahir-batin antarteman. Tingkat tarikat cocok diberikan kepada siswa SMP. Siswa dibiasakan berperilaku baik, diberi pengertian pentingnya hal itu dilakukan; bersamaan waktunya disertai aktivitas pendukung yang cocok. Misalnya bagaimana anak-anak tersebut berkesenian, berolah puisi, berolahraga, dan bersastraria sambil berolah budi. Contohnya adalah anak-anak SMP dilatih menari ”halus” sambil dijelaskan makna gerakan yang ada di dalamnya untuk menanamkan karakter. Tingkat makrifat cocok diberikan kepada siswa SMA. Anak disentuh pemahaman dan kesadarannya sehingga berperilaku baik bukan sekadar kebiasaan, melainkan berkesadaran di lubuk hatinya untuk melakukan hal tersebut. Sang anak mengerti maksud berperilaku baik; dan perilakunya tersebut dijalankan berdasarkan kesadaran diri. Semua guru Apakah pendidikan karakter hanya diberikan oleh guru Agama dan guru PKn? Tidak! Di majalah Poesara edisi Februari 1954,
          Ki Hadjar menyatakan, pendidikan karakter wajib disampaikan kepada siswa oleh semua guru. "Pengajaran budi pekerti sebaiknya diberikan secara spontan oleh sekalian pamong, setiap ada kesempatan dan tidak harus menurut daftar pelajaran. Pendidikan budi pekerti harus diberikan oleh tiap-tiap pamong, baik mengajarkan bahasa, sejarah, kebudayaan maupun ilmu alam, ilmu pasti, menggambar, dan sebagainya," tulisnya. 
         Jelas sekali bahwa pendidikan karakter itu harus disampaikan oleh semua guru di sekolah. Dalam hal ini oleh guru kelas I-VI di SD berbasis guru kelas; guru kelas VII-IX pengampu mata pelajaran apa pun di SMP yang berbasis guru mata pelajaran; serta guru kelas X-XII pengampu mata pelajaran apa pun di SMA dan SMK yang berbasis guru mata pelajaran. Konsep pendidikan karakter Ki Hadjar tersebut sesungguhnya memberi arahan yang jelas dalam pengembangan kurikulum pendidikan kita baik secara substansif, metodologis, maupun teknis pelaksanaan. Kiranya apa yang dinyatakan Jokowi di depan rumah Ki Hadjar tempo hari sangat in line dengan konsep pendidikan karakter Ki Hadjar. Apakah hal ini akan ditindaklanjuti oleh Anies Baswedan dalam pengembangan kurikulum pendidikan kita? Semoga demikian adanya. Ki Supriyoko ; Wakil Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa; Direktur Pascasarjana Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta KOMPAS, 05 Januari 2015

Jumat, 13 Mei 2016

PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN

Pendidikan tidak bisa sepenuhnya diserahkan oleh pengajar atau guru di sekolah. Sekolah hanya tempat untuk melanjutkan pengajaran yang sudah diajarkan atau diberikan oleh orang tua mereka di rumah. Orang tua sangat memiliki peran penting dalam proses tumbuh kembang anaknya. Seperti artikel berikut ini. Dakwatuna.com yang di tulis oleh Januarita Sasni 25/02/'15. Artikel itu akan memberikan gambaran tentang PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN.

dakwatuna.com– Seorang sahabat pernah berkata bahwa hasil yang berkualitas itu juga tumbuh dari bibit yang berkualitas. Dalam rumah tangga bisa disimpulkan bahwa anak yang berkualitas juga lahir dari ibu yang luarbiasa, kenapa? karena ibu adalah“madrasatulula lil aulad”, ibu adalah sekolah pertama untuk anaknya.

Pelajaran pertama yang diterima anak berasal dari orang tua terutamaibunya, setelah itu baru merambah ke lingkungankeluarga. Pada umumnya saat anak mulai belajar bicara maka kata pertama yang terucap dari mulutnya adalah memanggilibu. Semua ini wajar-wajar saja karena kurang lebih sembilan bulan lamanya bayi mendekam di rahim ibunya. Dia makan dari apa yang dimakan oleh ibunya, saat lahir pundia akan dilayani sepenuhnya oleh ibu.Seorang ibu yang baik bukan berarti yang namanya penuh deretan gelar akademik denganfasilitas dunia yang seperti putri raja. Namun ibu yang baik adalah ibu yang sadar akan profesi dia sebagai ibu sekalipun tanpa gelar kebanggaan.

Apa gunanya banyak gelar jika melupakan kewajiban terhadap anak, meskipun dengan dalih bahwa dia sibuk demi membahagiakan anaknya. Mengumpulkan harta dunia lalu lupa dengan diri yang sesungguhnya. Di samping gemerlapnya harta dunia ada hal paling penting yang dibutuhkan oleh anak, mereka butuh kasih sayang dan perhatian. 

Jika ibu adalah sekolah pertama, maka ayah menjadi pendamping, penasehat bahkan sebagai pengajar juga di sekolah tersebut. Sampai kapan profesi mereka? Apakah sampaianak memasuki usia sekolah? Lalu profesi mereka berubah menjadi donatur bagi kelangsungan pendidikan anak atau malah berubah menjadi ibu kos tempat anak istirahat dan menginap sepulang sekolah?Seharusnya jawaban untuk semua pertanyaan di atas hanya satu yaitu TIDAK, meskipun pada kenyataannya banyak yang kita jumpai seperti itu. 

Bahkan yang sangat tidak asing lagi saat pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada guru di sekolah. Padahal pertemuan guru dengan anak di sekolah hanyaempat jam per hari, serta satu guru untuk banyak anak bukan satu guru satu anak. Sesampainya di rumah anak sibuk dengan deretan kewajiban yang harus mereka tunaikan. Sementara orang tua juga sibuk dengan profesi mereka dari pagi hingga sore hari. 

Saat pulang tubuh sudah lelah, yang terpikirkan hanya istirahat secepatnya karena besok pagi tugas sudah menanti. Kapan lagi waktu untuk anak? Tidak ada lagi, mereka sibuk, bahkan untuk sekadar bertanya kabar sianak pun seakan tak sempat bagaimana mau membantu mereka belajar di rumah?Mengapa semua ini bisa terjadi? Apakah faktor ekonomi ikut mempengaruhi? Jawab saya hanya “entahlah” saya pun tidak bisa memberikan jawaban pasti, biarlah nanti para pakarnya yang akan meneliti.

Di kota-kota besar sering kita dengar bahwa kurangnya perhatian orang tua kepada anak bukan karenamereka orang yang tidak mampu tetapi karenamereka orang yang sibuk dengan karir mereka. Sementara di sini, di tempat aku mengabdi untuk setahun ke depan kurangnya perhatian orang tua kepada anak disebabkan karena mereka rata-rata keluarga yang kurangmampu. Orang tua harus bekerja banting tulang di sawah dan dikebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terkadang anak pun ikut ambil bagian untuk mengerjakan pekerjaanrumah tangga yang mungkin menurut sebagian kita itu terlalu berat untuk mereka.

Suatu hal yang membuat saya ingin menangis, saat dua hari berturut-turut siswa saya yang duduk di kelas enam SD tidak masuk sekolah. Saat saya coba bertanya kepada teman-temannya ternyata tidak ada yang tahu ke mana dia. Sebagai orang baru disini saya pun tidak tahu medan. Setelah siswaku kembali ke sekolah saya sempatkan berbicara dengan dia,”anah, kamu kemana nak kemaren gak masuk sekolah, kamu sudah kelas enam nak, sebentar lagi akan ujian nasional,berapa hari kamu gak masuk sekolah?”.Dia seakan mengelak dari, namun terus saya panggil dia hingga dia menjawab dengan agak takut-takut“abi ngasuh buk..dua hari abi teu masuk sekolah…orang tua abi kuli buk”,entah mengapa saya begitu letih mendengar jawaban itu semua. 

Dia seorang anak laki-laki yang harus libur sekolah untuk mengasuh adiknya karena orang tuanya hanyaburuh tani di sawah orang lain. Tenggorokan saya seakan tercekat, hingga hanya mampu berpesan“anah sudah kelas enam kan jadi bilangin sama orang tuanya anah mesti hadir terus ke sekolah ya nak”, setelah melihat anggukannya saya pun berlalu membawa perasaan yang tak menentu. saya tak tahu harus menyalahkan siapa, bahkan rasanya sangat ingin marah, tapi pada siapa? Mengapa anak tidak bisa punya waktu belajar di rumah? Apakah begitu banyak tugas rumah tangga yang mesti mereka pikul? Atau malah mereka yang tidak mau belajar di rumah? Di satu sisi terkadang saya pun berfikir bahwa hal seperti ini tidak sepenuhnya kesalahan orang tua.

Tak jarang bahkan orang tua yangpenuh kesibukan masih meluangkan waktu untuk memperhatikan anak serta membantu mereka belajar dirumah. Tetapi sekarang masalahnya terletak pada anak tersebut, dia yang tidak mau di ajar oleh orang tuanya di rumah. Ketidak tegaan orang tua untuk memaksa anak belajar biasanya meluluhkan hati mereka. Kondisi ini sering dimanfaatkan oleh anak untuk mewadahi rasa malas mereka mengulangpelajaran di rumah. Jika di sekolah mereka menurut pada gurunya karena mereka tahu tidak akan gurunya mau memenuhi keinginannya untuk tidak belajar.

Saat merekatidak mau belajar maka guru punya taktik tersendiri membuat mereka kembali tekun belajar meski “terpaksa”. Sementara di rumah, saat anak merajuk ingin bermain makaorang tua dengan senang hati mempersilahkan. Kondisi ini juga menyebabkan pendidikan anak secara tidak langsung telah beralih menjadi tanggung jawabguru di sekolah. Masih mendingan jika orangtua menyediakan guru les privat untuk anak belajar di rumah, namun bagi yang tidak mampu, ya sudah cukup belajar di sekolah saja.

Sesungguhnya sesibuk apapun orang tua tanggung jawab mereka terhadap anak tidak pernah bisa diwakilkan kepada siapapun. Selama hayat masih dikandung badan selama itu juga kewajiban mereka masih tetap ada. Apalagi kita tahu bahwa tidak ada yang namanya mantan guru sebagaimana tak ada mantan murid. Sementara orang tua punya dua profesi utama, sebagai orang tua dan guru bagi anaknya, tidak akan pernah ada yang namanya mantan orang tua dan juga mantan guru. Maka sampai kapanpun kewajiban mereka atas profesi yang diamanahkan tetap harus ditunaikan. Tidak hanya sekadar materi tetapi moril pun dibutuhkan anak.Kewajiban pemenuhan materi untuk anak mungkin bisa gugur saat mereka telah mampu hidup mandiri, namun hak mereka untuk perbaikan moral masih mereka butuhkan sepanjang hayat. Para orang tua yang budiman, bapak dan ibu generasi, mari kita kembali saling mengingatkan akan tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua. Dari tangan bapak dan ibu lah akan lahir para pewaris peradaban, yang akan melanjutkan masa depan bangsa dan agama kita. Mari kita dekap mereka, jaga mereka dan bentuk mereka menjadi manusia yang cerdas intelektual serta spiritualnya. Para bapak, selaku imam dalam rumah tangga maka akan dimintai tanggung jawabmu terhadap seluruh makmummu kelak. Salam dari kami anak-anak negeri.

Kamis, 12 Mei 2016

E JURNAL WACANA BAHASA INDONESIA

Definisi wacana dapat dilihat dari berbagai segi. dari segi sosiologi,wacana menunjuk pada hubungan konteks sosial dalam pemakaian bahasa, sedangkan dari segi linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat.di samping itu, Hawthorn (1992) juga mengemukakandefinisi wacana merupakan komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.Sedangkan Roger Fowler (1977) mengemukakan bahwa wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya. beberapa definisi dan pendapat dari pakar-pakar bahasa mengenai wacana. dalam definisi linguistik, wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa.oleh karena itu wacana sebagai kesatuan makna dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. selain dibangun atas hubungan makna antarsatuan bahasa, wacana juga terikat dengan konteks.Konteks inilah yang dapat membedakan wacana yang digunakan sebagai pemakaian bahasa dalam komunikasi dengan bahasa yang bukan untuk tujuan komunikasi.