Kamis, 20 Oktober 2016

Nasehat al Ghazali Tentang Umur dan Waktu

Kita kebanyakan menghabiskan waktu hanya untuk tidur ketimbang untuk hal-hal yang bermanfaat dan ibadah

DALAM banyak riwayat hadits disebutkan usia umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam tidak lama.Berkisar sekitar 60-70 tahun.
Itu pun sudah tua: rambut mulai memutih, gigi mulai habis, pendengaran perlahan berkurang, dan tenaga mulai melemah.
Berbeda dengan usia umat Nabi sebelumnya yang panjang. Karena sedikitnya tempo usia umat Nabi Muhammad itu, maka harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memuliakan diri dengan ilmu dan ibadah.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad Shallallhu ‘Alaihi Wassallam berkata: “Umur umatku antara 60 dan 70 tahun, sedikit dari mereka yang melampauinya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Karenanya jika tidak dimanfaatkan dengan baik, maka waktu akan terbuang sia-sia. Dan, waktu yang telah berlalu tidak akan kembali. Dia akan pergi selamanya dengan segala kenangannya: baik kenangan yang penuh penyesalan atau kebahagiaan. Manusia harus memanfaatkan waktu. Hanya orang-orang yang mampu memanfaatkan waktu dengan baik yang akan jadi mulia.
Kalau mau jujur, sebenarnya kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat daripada yang bermanfaat. Kita lebih banyak bermain daripada belajar. Kita lebih banyak bersendagurau daripada berfikir. Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk duniawi daripada ukhrowi. Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk membuat dosa ketimbang memupuk pahala. Nauzubillah. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni kealpaan kita. Aamiin.
Nasehat Al Ghazali
Ada nasihat penting yang disampaikan Imam Al Ghazali terkait waktu. Kita kebanyakan menghabiskan waktu hanya untuk tidur ketimbang untuk hal-hal yang bermanfaat dan ibadah. Coba bayangkan, jika rata-rata usia umat manusia di jaman Nabi Muhammad ini sekitar 60 tahun dan waktu yang digunakan untuk tidur sekitar 8 jam dalam sehari.
Seperti diketahui, kebanyakan orang—terutama di Indonesia—tidur mulai pada pukul 20.00 malam dan bangun sekitar pukul 05.00 pagi.
Iya kalau bangun tidur jam 05.00 pagi. Pasalnya, tidak sedikit di antara kita yang masih suka bangun tidur di atas jam 05.00 hingga ada yang telat dan tertinggal shalat shubuh.Nauzubillah!
Nah, kalau misalnya, rata-rata tidur 8 jam sehari itu dikali dengan masa usia rata-rata manusia yang mencapai 60 tahun, maka setidaknya kita menghabiskan masa 20 tahun untuk hanya tidur. Saya ulangi lagi: kita menghabiskan waktu 20 tahun hanya untuk tidur!
Sekarang, kita hitung lagi berapa banyak waktu yang kita manfaatkan untuk ibadah. Jika 20 tahun kita manfaatkan untuk tidur, maka sisa 40 tahun. Coba bayangkan berapa waktu untuk ibadah, berapa lama untuk belajar menuntut ilmu, dan berapa tahun waktu yang dihabiskan untuk main-main dan mencari kehidupan duniawi! Tentu jawabnya berbeda-beda. Tergantung pribadi masing-masing. Sebab, biasanya, manusia punya jadwal hidup (life schedule) masing-masing.
Bisa dibayangkan jika perhari kita habiskan berapa lama hanya untuk bermain atau sekedar bersendau gurau. Berapa lama waktu dihabiskan untuk membaca al-Quran, berzikir, dan belajar. Padahal, waktu itu terus berjalan dan tidak akan kembali. Waktu juga ibarat pedang tajam yang apabila tidak digunakan untuk memotong sesuatu dengan baik, maka pedang waktu tersebut akan memotong kita bahkan memutilasi kita perlahan-lahan.
Karenanya, yang membedakan kualitas kemuliaan seseorang adalah dari pemanfaatan waktu. Kalau waktunya habis dengan kerja-kerja intelektual, spiritual, dan kebermanfaatan kolektif maka dia akan menjadi pribadi yang mulia. Karenannya, seseorang akan jadi mulia dengan menghabiskan waktu-waktunya untuk belajar dan senantiasa berzikir pada Allah. Seseorang juga akan jadi mulia dan terhormat bila menghabiskan malam-malam yang gelap gulita itu dengan belajar, dan shalat tahajud.
Seperti kata pepatah Arab di atas: “Man tholabal ‘ula sahiral layali” (Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan maka seringlah bergadang pada malam hari).
Bergadang di situ tentunya bukan untuk sesuatu yang semu dan tidak manfaat. Seperti main, menonton film sepanjang malam, melihat pertandingan bola, dan hang out hingga larut malam. Tapi, bergadang di situ adalah dengan melakukan kerja-kerja spiritual dan intelektual: belajar dan beribadah.
Ada banyak kisah orang sukses yang memanfaatkan waktunya. Dan, hampir semua orang sukses adalah orang yang memanfaatkan waktunya dengan baik.
Sebaliknya, orang gagal adalah orang yang tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Waktu-waktu yang dimanfaatkan orang beriman itu seharusnya seperti yang dilakukan para sahabat dan pejuang jaman Rasulullah. Di mana pada siang hari mereka seperti singa di padang pasir yang berjuang tanpa lelah sedangkan malam harinya dihabiskan dengan beribadah seperti rahib-rahib.
Orang besar dan sukses adalah mereka yang memanfaatkan waktunya dengan baik. Dia tidak mau ada waktu—semenit saja—yang terbuang tanpa kebaikan dan kemanfaatan.
Imam Al-Ghazali menasihatkan agar setiap hari kita meluangkan waktu sesaat—misalnya selesai shalat Subuh—untuk menetapkan syarat-syarat terhadap jiwa (musyârathah).
“Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur. Apabila ia habis, maka habislah modalku sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari keuntungan lagi. Allah telah memberiku tempo pada hari yang baru ini, memperpanjang usiaku dan memberi nikmat.”
Al Quran Surat al ‘Ashr 1-3: mengingatkan; “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati dalam supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”*
Rep: Syaiful Anshor

Sumber:

http://www.hidayatullah.com/

Rabu, 19 Oktober 2016

Manfaat Biografi

Manfaat Penting Biografi Bagi Para Pembaca - Biografi merupakan karangan sejarah hidup seorang tokoh. Biografi adalah kisah atau keterangan tentang kehidupan seseorang. Sebuah biografi lebih kompleks daripada sekedar daftar tanggal lahir atau mati dan data-data pekerjaan seseorang, biografi juga bercerita tentang perasaan yang terlibat dalam mengalami kejadian-kejadian tersebut. Dalam biografi tersebut dijelaskan secara lengkap kehidupan seorang tokoh sejak kecil sampai tua, bahkan sampai meninggal dunia. Semua jasa, karya, dan segala hal yang dihasilkan atau dilakukan oleh seorang tokoh dijelaskan juga.

Ada banyak hal dan juga manfaat yang bisa diambil dari sebuah buku biografi, misalnya:
  1. Meneladani sikap dan perilaku tokoh. Para pembaca yang tertarik dengan pengalaman hidup si Tokoh akan meniru semua hal yang baik dari tokoh tersebut.
  2. Mempelajari makna hidup dari tokoh. Para pembaca dapat belajar hidup dari pengalaman dan kisah si Tokoh.
  3. Mencontoh keberhasilan hidup tokoh. Ini yang penting, para pembaca bisa menjadikan kisah sukses si Tokoh sebagai inspirasi.
  4. Dan banyak lagi poin-poin penting yang lainnya.

Ada banyak hal menarik dalam pengungkapan biografi seorang tokoh. Hal menarik dalam hal ini bisa berupa:
  1. Sikap hidup
  2. Pandangan hidup
  3. Riwayat hidup
  4. Riwayat pendidikan
  5. Keputusan besar yang harus dipilih saat berada dalam situasi yang sulit
  6. Penghargaan
  7. Dan banyak lagi yang lainnya.
Semuanya itu sangat bergantung pada penilaian pembaca atas biografi tersebut.







Sumber: http://kttsaraswati.blogspot.co.id/2014/01/manfaat-biografi-bagi-para-pembaca.html

MENELADANI BUYA HAMKA

Buya Hamka, nama ini bukan hanya dikenal sebagai ulama besar Nusantara, melainkan juga sebagai sastrawan, budayawan, politisi, cendikiawan, dan tokoh masyarakat. Ketokohan serta keagungan karyanya membuat banyak orang tertarik untuk membaca dan meneladani kisah hidupnya yang penuh inspirasi.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) lahir di Desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908 M /13 Muharram 1362 H.

Hamka juga biasa dipanggil Buya, yaitu panggilan orang Minangkabau yang berasal dari kata abi-abuya dalam bahasa Arab, yang berarti Ayahku, atau seseorang yang dihormati. 

Ayahnya bernama Syaikh Abdul Karim bin Amrullah, yang di kenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor gerakan Islam di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Sebagi seorang Ulama besar, Buya Hamka banyak mempelajari dan mendalami berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik ilmu tentang ke-Islaman maupun pemikiran Barat. Hamka  juga aktif dalam perpolitikan di Indonesia.

Masa Kecil

Abdul Malik adalah nama kecil dari Buya Hamka. Hamka adalah anak sulung dari empat bersaudara dalam keluarga Syaikh Abdul Karim Amrullah.

Masa kecil Hamka dipenuhi gejolak batin, karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Hamka muda yang ketika itu berusia empat tahun bersama orangtuanya pindah ke Padang. Ia melewati masa kecil di rumah neneknya.

Bersama teman-teman sebaya, Hamka kecil menghabiskan waktu bermain di Danau Maninjau. Kebiasaan Hamka kecil adalah belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal.

Dia  belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Dia  sempat mendapatkan pengetahuan umum seperti berhitung dan membaca saat masuk ke Sekolah Desar pada tahun 1915.

Perjalanan Haji

Buya Hamka naik haji ke Makkah Al-Mu­karramah pada tahun 1927. Buya berjalan kaki dari Bayua Maninjau me­nuju Bukittinggi lewat Kelok 44.  Kemudian me­neruskan per­jalanan de­ngan kendaraan ke Pa­dang. Dari Teluk Bayur naik kapal ke Sibolga dan selanjutnya naik kendaraan pula menuju pelabuhan Belawan Medan lewat Pematang Siantar.

Di pelabuhan inilah Buya naik kapal Karimata milik Stoomavart Maatschappij Nedherland selama 16 hari perjalanan menuju Jeddah Saudi Arabia, dengan bekal uang 500 Gulden.

Demikian panjang dan beratnya perjalanan Buya Hamka untuk menunaikan ibadah haji pada awal-awal abad ke-20 ini.

Bila kita baca buku "Di Bawah Lindungan Ka’bah" karya Buya Hamka atau menonton filmnya, maka terlihat jelas bagaimana sulitnya dulu untuk mencapai Tanah Suci itu. Angkutan hanya dengan kapal yang memakan waktu sekitar tiga bulan.

Karena kapalnya belum secanggih sekarang maka banyak pula di antaranya yang rusak dan tenggelam dalam perjalanan. Banyak di antara mereka yang sakit di atas kapal atau sakit dan meninggal di Tanah Suci sehingga tidak bisa pulang lagi.

Begitu juga di zaman kolo­nialisme Belanda, di mana jamaah haji itu diawasi dengan sangat ketat. Konon mereka yang telah pulang dari haji akan diuji dulu oleh Belanda dan yang lulus akan diberi sertifikat. Barulah mereka berhak memakai atribut haji seperti sorban, songkok haji, kafieh dan memakai gelar H. alias Haji.

Hamka, selama di Mekkah, menjadi koresponden Harian Pelita Andalas sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi, yang merupakan mertua dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Di tempat ia bekerja itu, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab.

Perjuangan Buya

Pada Juli 1924, Hamka memulai perjalanannya ke Pulau Jawa. Ia mengungkapkan keinginannya dan meminta restu kepada ayahnya untuk merantau, berjanji akan belajar agama kepada Ahmad Rasyid Sutan Mansur.

Dalam perhentian pertama di Yogyakarta, Hamka bertemu dengan pamannya Jafar Amrullah. Ia pun diperkenalkan dengan Sarekat ISlam (SI) dan bergabung menjadi anggota. Ia mengambil waktu belajar kepada Bagoes Hadikoesoemo, HOS Tjokroaminoto, Fakhruddin dan Suryopranoto, serta melalui berbagai pergerakan umat Islam.

Sekembali dari tanah Jawa, Hamka aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya bermula dari perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925 di Sungai Batang.

Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.

Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928, Hamka tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya. Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai akhirnya ia diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang.

Seusai Muktamar Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada tahun 1930, disusul dengan kongres berikutnya di Yogyakarta, ia memenuhi undangan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis.

Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar.

Selama di Makassar, ia sempat menerbitkan Al-Mahdi, majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.

Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke Medan. Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H. Mohammad Said.

Selama di Medan, ia juga bekerja sebagai editor sekaligus menjadi Pemimpin Redaksi sebuah majalah pengetahuan Islam yang didirikannya bersama M.Yunan Nasution, yaitu Majalah Pedoman Masyarakat.

Namun pada Desember 1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau dan melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto. Jabatan ini ia pegang hingga tahun 1949.

Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu, ia selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih kembali karena merasa uzur. Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.

Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya dalam Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pegunungan di Sumatera Barat untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda.

Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik.

Dalam Pemilihan Umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungannya dengan Soekarno.

Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang menyeganinya. Pada zaman pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu.

Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia justru merampungkan karya buku monumentalnya, Tafsir Al-Azhar.

Seiring dengan peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, Hamka dibebaskan pada Januari 1966. Ia pun mendapat ruang pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah di RRI dan TVRI. Ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Al-Azhar Jakarta.

Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975, peserta musyawarah memilih Buya Hamka sebagai Ketua Umum MUI. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim.

Saat itu Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa dicabut. “Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini, bukan?” kata Hamka.

Keteguhannya memegang prinsip, itulah yang diyakini membuat semua orang menyeganinya.
Karya Tulis     

Sepanjang hidupnya Buya Hamka tidak hentinya menulis dan berpidato, menghasilkan sekitar 100 buah buku, ratusan makalah, essay dan artikel yang tersebar dalam media massa seperti Pedoman Masyarakat, Aliran Islam, Suara Partai Masyumi, Hikmah, Mimbar Agama, Panji Masyarakat dan banyak lagi.

Seluruh ceramah, pidato, khotbah dan karya tulisnya dilandasi oleh substansi semangat ke-Islaman yang demikian prima.

Salah satu karya tulis terbesarnya adalah Kitab Tafsir Al-Azhar, Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya Hamka semasa hidupnya. Tafsir tersebut ditulisnya pada 1960.

Selain kitab tafsir, Hamka juga meninggalkan berbagai macam karya tulis, di antaranya tentang politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih ), dan ilmu-ilmu ke-Islaman (Tashawwuf Modern).

Hamka juga banyak menghasilkan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah, kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk Roman, Sejarah, Biografi dan Otobiografi, Sosial Kemasyarakatan, Pemikiran dan Pendidikan, Teologi, Tasawuf, Tafsir, dan Fiqih.

Di antara novel-novelnya yang terkenal hingga sekarang antara lain Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah. dan Merantau ke Deli  juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik tingkat nasional maupun internasional.

Mengenai kemampuan dan kedalaman ilmunya dalam agama Islam serta kehalusan bahasa sastranya, Buya Hamka dengan kemampuan bahasa Arab yang dipelajarinya, lebih banyak mempelajarinya secara otodidak, alias belajar sendiri.

Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan baha Melayu.  Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan Doktor dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar guru besar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta.

Akhir Hayat

Setelah mengundurkan diri dari jabatan Ketua MUI pada 19 Mei 1981, kesehatannya menurun. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga, ia diopname di Rumah Sakit Pertamina pada 18 Juli 1981, yang bertepatan dengan awal Ramadan.

Pada hari keenam dirawat, ia sempat menunaikan shalat Dhuha dengan bantuan puterinya, Azizah, untuk bertayammum. Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, dan kemudian menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Kondisi tersebut tetap berlangsung sampai malam harinya.

Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat pacu jantung. Pada pukul 10 pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan Hamka menghembuskan napas terakhirnya tidak lama setelah itu.

Pada hari mulia Jum’at, bulan mulia 21 Ramadhan, bertepatan dengan 24 Juli 1981 pukul 10 lewat 37 menit dalam usia 73 tahun, Bya Hamka wafat, dipanggil ke haribaan-Nya. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III Jakarta.

Pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir dinantaranya Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim, serta Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam shalat jenazahnya.

Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung Al-Azhar dan dishalatkan lagi, dan kemudian akhirnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara.

“Kita kehilangan seorang ulama besar. Kita kehilangan seorang pemikir besar. Kita kehilangan seorang sastrawan besar, ” komentar Menteri Agama Alamsyah, ketika melepas jenazah almarhum di pekuburan.

Buya Hamka, walaupun jasadnya telah tiada, namun semangat juangnya, ceramah-ceramahnya yang menyentuh serta karya-karya bukunya yang menginspirasi, masih terasa hingga kini. Dari berbagai sumber. (Neni Reza, Mirajnews)

Sumberhttp://www.portalpiyungan.com/2016/09/meneladani-buya-hamka.html

Selasa, 18 Oktober 2016

Kelas Kata

7 Kelas Kata


Kata Benda (Nomina)

Kata benda (nomina) adalah kata-kata yang merujuk pada pada bentuk suatu benda, bentuk benda itu sendiri dapat bersifat abstrak ataupun konkret.dalam bahasa Indonesia kata benda (nomina) terdiri dari beberapa jenis, sedangkan dari proses pembentukannya kata benda terdiri dari 2 jenis, yaitu :
  1. Kata Benda (Nomina) Dasar: Kata benda dasar atau nomina dasar ialah kata-kata yang yang secara konkret menunjukkan identitas suatu benda, sehingga kata ini sudah tidak bisa lagi diuraikan ke bentuk lainnya. Contoh : buku, meja, kursi, radio, dll.
  2. Kata Benda (Nomina) Turunan: Nomina turunan atau kata benda turunan ialah jenis kata benda yang terbentuk karena proses afiksasi sebuah kata dengan kata atau afiks. Proses pembentukan ini terdiri dari beberapa bentuk, yaitu :
    1. Verba + (-an) contoh: Makanan.
    2. (Pe-) + Verba contoh: Pelukis.
    3. (Pe-) + Adjektiva contoh: Pemarah, Pembohong.
    4. (Per-) + Nomina + (-an) contoh: Perbudakan.

Kata Kerja (Verba)

Kata kerja atau verba adalah jenis kata yang menyatakan suatu perbuatan. Kata kerja dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
  1. Kata Kerja Transitif: Kata kerja transitif merupakan kata kerja yang selalu diikuti oleh unsur subjek, contoh : membeli, membunuh memotong, dll. Dilihat dari segi bentuknya kata kerja transitif dapat dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu: Kata kerja transitif berimbuhan dan kata kerja transitif tak berimbuhan.
  2. Kata Kerja Intransitif: Kata kerja intransitif ialah kata kerja yang tidak memerlukan pelengkap. Seperti kata tidur untuk contoh kalimat berikut: saya tidur, pada kalimat tersebut kata tidur yang berposisi sebagai predikat (P) tidak lagi diminta menerangkan untuk memperjelas kalimatnya, karena kalimat itu sudah jelas.
Di dalam Bahasa Indonesia ada 2 dasar dalam pembentukan verba, yaitu dasar yang tanpa afiks tetapi telah mandiri karena telah memiliki makna, dan bentuk dasar yang berafiks atau turunan. dari bentuk verba ini dapat dibedakan menjadi :
  1. Verba Dasar Bebas: ialah verba yang beruba morfem dasar bebas, misalnya: duduk, makan, mandi, minum, dll.
  2. Verba Turunan: ialah verba yang telah mengalami afiksasi, reduplikasi, gabungan proses atau berupa paduan leksem.
Beberapa bentuk verba turunan :
1.       Verba berafiks : berbuat, terpikirkan, dll.
2.       Verba bereduplikasi : bangun-bangun, ingat-ingat, dll.
3.       Verba berproses gabungan : bernyanyi-nyanyi, tersenyum-senyum, dll.
4.       Verba majemuk : cuci mata, cuci tangan, dll.

Kata Sifat (Adjektifa)

Kata sifat ialah kelompok kata yang mampu menjelaskan atau mengubah kata benda atau kata ganti menjadi lebih spesifik. Karena kata sifat mampu menerangkan kuantitas dan kualitas dari kelompok kelas kata benda atau kata ganti.

Ciri-ciri Kata Sifat

  1. Kata sifat terbentuk karena adanya penambahan imbuhan ter- yang mengandung makna paling.
  2. Kata sifat dapat diterangkan atau didahului dengan kata lebih, agak, paling, sangat & cukup.
  3. Kata sifat juga dapat diperluas dengan proses pembentukan seperti ini : se- + redupliasi (pengulangan kata) + -nya, contoh : sehebat-hebatnya, setinggi-tingginya, dll.

Beberapa Proses Pembentukan Kata Sifat

  1. Kata sifat yang terbentuk dari kata dasar, misalnya: kuat, lemah, rajin, malas, dll.
  2. Kata sifat yang terbentuk dari kata jadian, misalnya: terjelek, terindah, terbodoh, dll.
  3. Kata sifat yang terbentuk dari kata ulang, misalnya: gelap-gulita, pontang-panting, dll:
  4. Kata sifat yang terbentuk dari kata serapan, misalnya: legal, kreatif, dll.
  5. Kata sifat yang terbentuk dari kata atau kelompok kata, misalnya: lapang dada, keras kepala,baik hati, dll.

Kata Ganti (Pronomina)

Kelompok kata ini dipakai untuk menggantikan benda atau sesuatu yang dibendakan. Kelompok kata ini dapat dibedakan menjadi 6 bentuk, yaitu:
  1. Kata Ganti Orang: ialah jenis kata yang menggantikan nomina. Kata ganti orang dapat dibedakan lagi menjadi beberapa bentuk, yaitu:
    1. Kata ganti orang pertama tunggal, misal: aku, saya.
    2. Kata ganti orang pertama jamak, misal: kami, kita.
    3. Kata ganti orang kedua tunggal, misal: kamu.
    4. Kata ganti orang kedua jamak, misal: kamu, kalian, Anda, kau/engkau.
    5. Kata ganti orang ketiga tunggal, misal: dia, ia.
    6. Kata ganti orang ketiga jamak, misal: mereka, beliau.
  2. Kata Ganti Kepemilikan: ialah kata ganti yang dipakai untuk menyatakan kepemilikan, misal: “buku kamu/bukumu”, “buku aku/bukuku”, “buku dia/bukunya”,dsb.
  3. Kata Ganti Penunjuk: ialah kata ganti yang dipakai untuk menunjuk suatu tempat atau benda yang letaknya dekat ataupun jauh, misal: “di sini”, “di sana”, “ini”, “itu”, dsb.
  4. Kata Ganti Penghubung: ialah kata ganti yang digunakan untuk menghubungkan anak kalimat dan induk kalimat kata yang dipakai yaitu: “yang”, “tempat”,”waktu”.
  5. Kata Ganti Tanya: ialah kata ganti yang dipakai untuk meminta informasi mengenai sesuatu hal, kata Tanya yang dimaksud ialah “apa”, “siapa”, “mana”.
  6. Kata Ganti Tak Tentu: ialah kata ganti yang digunakan untuk menunjukkan atau menggantikan suatu benda atau orang yang jumlahnya tak menentu (banyak), misal: masing-masing, sesuatu, para, dsb.

Kata Keterangan (Adverbia)

Kata keterangan adalah jenis kata yang memberikan keterangan pada kata kerja, kata sifat, dan kata bilangan bahkan mampu memberikan keterangan pada seluruh kalimat. Kata keterangan dapat dibagi lagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
  1. Kata Keterangan Tempat: ialah jenis kata yang memberikan informasi mengenai suatu lokasi, misal: di sini, di situ, dll.
  2. Kata Keterangan Waktu: ialah jenis keterangan yng menginformasikan berlangsungnya sesuatu dalam waktu tertentu, misal: sekarang, nanati, lusa, dll
  3. Kata Keterangan Alat: ialah jenis kata yang menjelaskan dengan cara apa sesuatu itu dilakukan ataupun berlangsung, misal: “dengan tongkat”, “dengan motor”, dll.
  4. Kata Keterangan Syarat: ialah kata keterangan yang dapat menerangkan terjadinya suatu proses dengan adanya syarat-syarat tertentu, misal: jikalau, seandainya, dll.
  5. Kata Keterangan Sebab: ialah jenis kata yang memberikan keterangan mengapa sesuatu itu dapat terjadi, misal; sebab, karena, dsb.

Kata Bilangan (Numeralia)

Kata bilangan ialah jenis kelompok kata yang menyatakan jumlah, kumpulan, urutan sesuatu yang dibendakan. Kata bilangan juga dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu:
  1. Kata bilangan tentu, contoh: satu, dua, tiga, dst.
  2. Kata bilangan tak tentu, contoh: semua, beberapa, seluruh, dll.
  3. Kata bilangan pisahan, contoh: setiap, masing-masing, tiap-tiap.
  4. Kata bilangan himpunan, contoh: berpuluh-puluh, berjuta-juta.
  5. Kata bilangan pecahan, contoh: separuh setengah, sebagian, dll.
  6. Kata bilangan ordinal/giliran, contoh: pertama, kedua, ketiga, dst.

Kata Tugas

Kata tugas ialah kata yang memiliki arti gramatikal dan tidak memiliki arti leksikal. Kata tugas juga memiliki fungsi sebagai perubah kalimat yang minim hingga menjadi kalimat transformasi. Dari segi bentuk umumnya, kata-kata tugas sukar mengalami perubahan bentuk. Kata-kata seperti : dengan, telah, dan, tetapi dan sebagainya tidak bisa mengalami perubahan. Tapi, ada sebagian yang bisa mengalami perubahan golongan kata ini jumlahnya sangat terbatas, misalnya: tidak, sudah kedua kata itu dapat mengalami perubahan menjadi menidakkan & menyudahkan.

Ciri-ciri Kata Tugas

Ciri dari kata tugas ialah bahwa hampir semuanya tidak dapat menjadi dasar untuk membentuk kata lain. Jika verba datang dapat diturunkan menjadi mendatangi, mendatangkan & kedatangan. Bentuk-bentuk seperti menyebabkan dan menyampaikan tidak diturunkan dari kata tugas sebab & sampai tetapi dari nomina sebab dan verba sampai yang membentuknya sama tapi kategorinya berbeda.

Jenis-jenis Kata Tugas

  • Preposisi (kata depan): ialah jenis kata yang terdapat di depan nomina (kata benda), misalnya : dari, ke & di. Ketiga kata depan ini dipakai untuk merangkaikan kata-kata yang menyatakan tempat atau sesuatu yang dianggap tempat. Contoh : Di Jakarta, di rumah, ke pasar, dari kantor.
  • Konjungsi (kata sambung): ialah jenis kata yang dapat menggabungkan 2 satuan bahasa yang sederajat, misalnya : dan, atau & serta. Jenis kata tugas yang mampu menghubungkan kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa. Konjungsi (kata sambung) dapat dibagi menjadi 4, yaitu:
  1. Konjungsi Koordinatif: yaitu konjungsi yang menghubungkan 2 unsur atau lebih yang sama pentingnya, atau memiliki status yang sama contoh: dan, atau & serta.
  2. Konjungsi korelatif: yaitu konjungsi yang menghubungkan 2 kata, frasa atau klausa yang memiliki status sintaksis yang sama. Konjungsi korelatif rerdiri atas dua bagian yang dipisahkan oleh satu frasa, kata atau klausa yang dihubungkan oleh : baik .... maupun, tidak .... tetapi.
  3. Konjungsi Antarkalimat: yaitu konjungsi yang menghubungkan satu kalimat dengan kalimat yang lainnya. Konjungsi jenis ini selalu membuat kalimat baru, tentu saja dengan huruf kapital di awal kalimat. Contoh : Biapun begitu, akan tetapi ....
  4. Konjungsi Subordinatif: yaitu konjungsi yang menghubungkan 2 klausa atau lebih dan klausa itu merupakan anak kalimat. Konjungsi ini terbagi lagi menjadi 12 kelompok, yaitu:
    1. Konjungsi subordinatif waktu : sejak, semenjak, sedari, sewaktu.
    2. Konjungsi subordinatif syarat : jika, jikalau, bila, kalau.
    3. Konjungsi subordinatif pengandaian : seandainya, seumpama.
    4. Konjungsi subordinatif konsesif : biarpun, sekalipun.
    5. Konjungsi subordinatif pembandingan : seakan-akan, seperti.
    6. Konjungsi subordinatif sebab : sebab, karena, oleh sebab.
    7. Konjungsi subordinatif hasil : sehingga, sampai.
    8. Konjungsi subordinatif alat : dengan, tanpa.
    9. Konjungsi subordinatif cara : dengan, tanpa.
    10. Konjungsi subordinatif komplementasi : bahwa.
    11. Konjungsi subodinatif atribut : yang
    12. Konjungsi subordinatif perbandingan : sama ... dengan, lebih ... dari.
  • Artikula (kata sandang): ialah jenis kata yang mendampingi kata benda atau yang membatasi makna jumlah orang atau benda. Kata sandang tidak mengandung suatu arti tapi memiliki fungsi. Fungsi kata sandang sendiri ialah untuk menentukan kata benda, mensubstansikan suatu kata yang besar, yang jangkung, dan lain-lain. Kata-kata sandang umum yang terdapat dalam Bahasa Indonesia ialah yang, itu, -nya, si, sang, hang, dang. Kata-kata sandang seperti sang, hang, dang banyak ditemui dalam kesusastraan lama, sekarang sudah tidak terpakai lagi terkecuali kata sandang sang. Kata sandang sang terkadang masih dipergunakan untuk mengagungkan atau untuk menyatakan ejekan maupun ironi. Dalam Bahasa Indonesia terdapat beberapa kelompok artikula, yaitu:
1.       Artikula yang bersifat gelar ialah artikula yang bertalian dengan orang yang dianggap bermartabat. Berikut ini jenis artikula yang bersifat gelar : sang, hang, dang, sri.
2.       Artikula yang mengacu ke makna kelompok / makna korelatif ialah kata para. Karena artikula ini bermakna ketaktunggalan, maka nomina yang diiringinya tidak dinyatakan dalam bentuk kata ulang. Jadi, untuk menyatakan kelompok guru sebagai kesatuan bentuk yang dipakai ialah para guru bukan para guru-guru.
3.       Artikula yang menominalkan. Artikula si yang menominalkan dapat mengacu ke makna tunggal atau genetik, tergantung pada konteks kalimat.
  • Interjeksi (kata seru): ialah kata yang mengungungkapkan perasaan. Macam-macam kata seru yang masih dipakai hingga sekarang ialah :
  1. Kata seru asli, yaitu : ah, wah, yah, hai, o, oh, nah, dll.
  2. Kata seru yang berasal dari kata-kata biasa, artinya kata seru yang berasal dari kata-kata benda atau kata-kata lain yang digunakan, contoh : celaka, masa', kasihan, dll.
  3. kata seru yang berasal dari beberapa ungkapan, baik yang berasal dari ungkapan Indonesia maupun yang berasal dari ungkapan asing, yaitu : ya ampun, demi Allah, Insya Allah, dll.
  • Partikel Penegas: ialah kategori yang meliputi kata yang tidak tunduk pada perubahan bentuk dan hanya berfungsi menampilkan unsur yang diiringinya. Ada empat macam partikel penegas, yaitu: -lah, -kah, -tah & pun.


https://www.academia.edu/4869261/7_Kelas_Kata_dalam_Bahasa_Indonesia

Anafora dan Katafora

Anafora adalah peranti dalam bahasa untuk membuat rujuk silang dengan hal atau kata yang telah dinyatakan sebelumnya. Peranti itu dapat berupa kata ganti persona  seperti dia, mereka, nomina tertentu, konjungsi, keterangan waktu, alat, dan cara.
Contoh:
Bu Mastuti belum mendapat pekerjaan, padahal dia memperoleh ijazah sarjananya dua tahun lalu. (dia beranafora dengan Bu Mastuti)

Katafora adalah rujuk silang terhadap anteseden yang ada di belakangnya.
Contoh:

Setelah dia masuk, langsung Tony memeluk adiknya. (dia merujuk pada Tony)

Umar Kayam

Umar Kayam adalah nama yang sudah tidak asing lagi di Indonesia. Semasa hidupnya ia sangat aktif di berbagai bidang. Ia dikenal sebagai sastrawan, budayawan, sosiolog, kolumnis, mantan pejabat, penulis skenario, dan aktor film. Ialah pemeran Bung Karno dalam film layar lebar produksi Pusat Film Nasional (PFN) yang berjudul Pengkhianatan G 30 S PKI. Sebuah film dokumenter yang dijadikan oleh pemerintah sebagai tontonan wajib bagi rakyat Indonesia pada zaman Orde Baru. Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada tangggal 30 April 1932.

Sebenarnya, orang tuanya tinggal di Solo. Akan tetapi, menjelang kelahiran Umar Kayam, orang tuanya memang sengaja datang ke Ngawi, rumah kakek Umar Kayam, karena Sang kakek ingin cucu pertamanya lahir di rumahnya. Maka, lahirlah Umar kayam di Ngawi.
Nama Umar Kayam yang disandangnya adalah pilihan ayahnya, Sastrosoekoso. Nama itu meniru nama Omar Khayam , seorang sufi, filsuf, ahli perbintangan, ahli matematika, dan pujangga kenamaan asal Persia yang hidup pada abad ke-12. Ayahnya berharap bahwa Umar Kayam bisa menjadi manusia yang cemerlang seperti Omar Khayam.
Uka, sapaan akrab Umar Kayam, mengakhiri masa lajangnya pada usia 27 tahun. Ia menikahi gadis Minang yang bernama Roosliana Hanoum pada tanggal 1 Mei 1959 di Medan. Resepsinya diadakan di Singaraja, Bali, tempat Umar Kayam bertugas saat itu. Kehidupan rumah tangganya berjalan langgeng. Ia menerapkan sikap demokrasi di keluarganya, tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada anak dan istrinya.
Sita, putri sulungnya, misalnya, menyukai tari Jawa, tetapi kurang bisa berbahasa Jawa. Umar kayam, yang sangat peduli terhadap budaya Jawa, tidak mau ikut campur untuk memaksa putrinya harus menguasai bahasa Jawa, meskipun menurut pikirannya seharusnya memang demikian. Ia membiarkan anak-anaknya berkembang menurut kehendak anak itu sendiri. Begitu pula dengan istrinya, yang akrab disapa dengan nama kecilnya, Yus, tidak dipaksanya menjadi istri dan ibu yang harus bekerja di rumah mengurusi rumah tangganya saja. Ia merelakan istrinya berkarier, bahkan mendukungnya, jika hal itu yang dibutuhkan oleh istrinya.
Umar Kayam memulai pendidikan formalnya di kota Solo. Ia menyelesaikan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah peratama (SMP)-nya di kota itu. Dari Solo ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah atas (SMA) di Yogyakarta dan menamatkannya di SMA Semarang. Ia kembali lagi ke Yogyakarta setelah lulus SMA.
Di Yogyakarta ia masuk ke Fakultas Paedagogi, Universitas Gajah Mada (UGM).
Ia meraih gelar B.A (sarjana muda) pada tahun 1955 dari sana. Tentu saja debutnya tidak
hanya sampai di situ. Bagi Umar Kayam pendidikan itu penting dan ia selalu ingin menambah pengetahuannya. Keingintahuannya terhadap sesuatu yang diminatinya memang sangat besar. Maka, dilanjutkannyalah pendidikannya ke Universitas New York, di Amerika Serikat. Ia berhasil meraih gelar M.A. (1963) dari negeri Paman Sam itu.
Dua tahun kemudian, 1965, ia kembali menunjukkan kemauan dan kemampuannya dalam menggali ilmu, ia meraih gelar Ph.D dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Gelar professor diperolehnya dari UGM, tempat ia mengabdikan ilmunya, pada tahun 1986 dan dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Sastra UGM pada tahun 1988.
Sangat banyak pekerjaan yang pernah digeluti oleh Umar Kayam dan dalam berbagai jenis pula. Pengetahuannya yang tinggi dan wawasannya yang luas memungkinkan ia menggeluti semua pekerjaan itu. Jabatan kariernya dimulai dari dosen pada Fakultas Sastra, UGM. Seiring dengan peningkatan sumber daya manusianya yang cukup menonjol, meningkat pula kariernya di UGM, bahkan merambat ke tempat lain. Berikut ini karir beliau, ialah:
1. Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film, Departemen Penerangan, Republik Indonesia (Dirjen RTF) pada tahun 1966--1969 ,
2. Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta pada tahun 1968—1972,
3. Ketua Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1969—1972,
4. Direktur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang (1975—1976),
5. Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan, UGM pada tahun 1977,
6. Ketua Dewan Film Nasional pada tahun 1978—1979,
7. Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) pada tahun 1988, dan
8. Anggota Akademi Jakarta pada tahun 1988.
9. Anggota MPRS,\
10.         Dosen UI dan dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta, Senior Fellow pada East-West Center, Hawai, AS, anggota penyantun/penasehat majalah Horison.
Pandangan Umar Kayam yang cenderung modern dalam membina rumah tangganya itu, ternyata kontradiktif dengan pandangannya dalam menyikapi kemajuan zaman, khususnya teknologi komputer. Meski zaman telah dilanda komputerisasi, Profesor doktor yang pernah menjabat sebagai guru besar di Universiatas Gajah Mada itu enggan meninggalkan mesin ketik manualnya yang kalau dipakai mengeluarkan suara yang dapat menagganggu orang di sekitarnya. Jika teman-temannya membujuknya untuk menggunakan komputer, Umar Kayam menantang mereka, “Yakinkan saya bahwa dengan komputer saya bisas kreatif.” Tentu saja tak seorang pun yang dapat memberikan jaminan.
KARYA:
Karya-Karya Umar Kayam
a. Cerpen
1. Seribu Kunang-Kunang di Manhattan
2. Istriku, Madame Schultz, dan Sang Raksasa
3. Sybil
4. Secangkir Kopi dan Sepotong Donat
5. Chief Sitting Bull
6. There Goes Tatum
7. Musim Gugur Kembali di Connecticut
8. Kimono Biru buat Istri
b. Novel Pendek
1. Sri Sumarah
2. Bawuk
Kedelapan cerpen di atas bersama dua novelet—Sri Sumarah dan Bawuk—diterbitkan dalam satu buku yang berjudul Sri Sumarah, pada tahun 1975. Penerbitnya adalah Pustaka Jaya, Jakarta.
c. Novel
1. Para Priyayi (Pustaka Jaya, 1992)
2. Jalan Menikung (Pustaka Jaya 2002)








Sumber: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/195/Umar%20Kayam